_Ilmu hikmah_
Wayan Supadno
Saat mudik, selalu saya manfaatkan diskusi dengan masyarakat sekitar dan sanak saudara. Di Banyuwangi Selatan. Setidaknya 4 kecamatan mirip polanya. Ada pesan yang akan terjadi.
Mengamati fenomena yang terjadi 20 tahun terakhir ini. Guna diketahui apa gejalanya dan potensi yang akan terjadi. Mudah ditebak karena simulasi dari banyak pengakuan testimoni pelakunya.
Hampir selalu, jika ada petani jual sawah 0,3 ha ke atas atau nilai transaksinya minimal Rp 500 juta. Pembelinya 95% dana dari luar Jawa dan luar negeri, perantau. Sisanya petani hortikultura buah naga, jeruk dan lainnya.
Pembelinya bukan petani pangan padi, jagung apalagi kedelai. Data angka emprik ini membawa kabar penting. Bahwa daya belinya masyarakat dan petani bisa kita ketahui. Prosesi seleksi alam ini, tanpa bisa kita pungkiri.
Artinya bahwa produsen pangan kita selama 20 tahun ini. Kalah bersaing di lapangan. Saat bersamaan konsumen pangan kita makin bertambah 1,13% jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia.
Pola tersebut sama persis dengan yang ada di Jabodetabek. Sekitaran Cibubur tempat tinggal saya. Alih kepemilikan sawah plus alih fungsi lahan. Begitu masifnya. Dominan jadi perumahan dan kawasan Industri.
Apalagi Indonesia kekuarangan 12 juta unit rumah. Disampaikan Presiden Jokowi saat pembukaan Musyawarah Nasional Perusahaan Real Estate Indonesia, 9 Agustus 2023.
Kekurangan 12 juta unit rumah. Jika dilihat selama ini rerata butuh 200 meter plus fasilitas umum dan fasilitas sosial yang diwajibkan. Setara 240.000 hektar. Belum lagi kekurangan kawasan industri agar banyak lapangan kerja.
Bisa ditebak, korbannya adalah lahan sawah, tegalan dan tambak. Semua milik petani dan nelayan. Yang minim daya saingnya untuk bertahan. Harga dinaikkan sedikit saja. Terangsang dijual oleh petani nelayan.
Di balik sukses menyediakan lahan perumahan rakyat agar sehat. Juga di balik kawasan industri agar banyak investor cipta lapangan kerja agar tiada pengangguran dan kemiskinan. Implikasinya jumlah produksi pangan berkurang, lalu impor.
Kisah di atas memberikan gambaran betapa Si Mentimun kalah telak dengan Si Durian. Jika dicampur jadi sekarung. Itu ibaratnya. Kolektifnya membentuk data situasi ekonomi makro nasional. Impor pangan makin besar.
Jika impor pangan makin besar maka ketergantungan pangan dari karya petani luar negeri semakin ngeri lagi. Berapapun harganya kita " loyal total " terhadap keputusannya. Termasuk saat dolar naik saat ini jadi Rp 16.000.
Ini akan mengoreksi harga pangan kita. Makin mahal. Maka beban biaya hidup makin berat. Jika upah/pendapatan tetap tanpa paralel ikut naik. Proses pemiskinan terjadi merangkak lagi. Kekurangan luas tanam pangan, kekurangan kedaulatan.
Ilmu hikmahnya. Alih fungsi lahan hal pasti. Daya beli petani pangan kalah. Luas tanam pangan berkurang. Itu jadi tontonan anak muda, lalu enggan bertani utamanya tani pangan. Sungguh menakutkan jika memposisikan jadi Si Kalah.
Harus cetak sawah sebagai penggantinya yang hilang ratusan ribu hektar. Harus intensifikasi dengan inovasi maupum infrastrukur agar laba tambah. Agar petani pangan naik daya belinya maupun daya tahan terhadap predator aset sawahnya.
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630